Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
Kamis, 18 Juni 2009

Dilema Menjadi Pecandu Narkoba


Pecandu Narkoba, Apakah Korban atau Pelaku Kriminal?

Jika Anda adalah Roy Marten, atau Shelia Marclia, apa yang Anda butuhkan saat ini? Perawatan dan rehabilitasi, atau penjara?
Pertanyaan ini harus dijawab dengan baik karena menyangkut kepentingan masa depan manusia itu dan negara.
Untuk itu, diperlukan argumen yang mengedepankan rasa keadilan dan kepentingan perlindungan masyarakat.

Mari mulai dengan penjara, pilihan yang lazim dilakukan. Karena sampai saat ini hampir semua pelaku Narkoba menjadi sasaran empuk target operasional kepolisian. Kabarnya bahkan tiap bulannya setiap Polsek maupun Polres di bagian Narkoba punya target jumlah tertentu yang harus di capai oleh personelnya untuk bisa menangkap pelaku yang terlibat di jaringan Narkoba.

Alhasil saat ini hampir semua penghuni Lapas mengalami Over Capacity. Lapas Narkoika Jakarta saat ini saja sudah mengalami over load penghuni sebanyak 2 kali lipat dari kapasitas maximum yang ditetapkan. Tapi kemudian timbul pertanyaan Apa manfaat penjara bagi pemakai narkoba seperti Roy Marten atau Shelia Marcelia ?

Pendapat umum menyatakan, penjara memberi efek jera. Artinya, mereka yang melakukan tindakan melawan hukum akan takut dan berpikir 1000 kali untuk mengulang perbuatannya karena tidak mau merasakan kembali dinginnya kamar ’hotel prodeo’. Pengalaman hidup di penjara yang pahit dan sengsara diharapkan dapat menjadi momok bagi mereka.

Benarkah? Bagi pengidap masalah adiksi terutama Narkoba pemenjaraan tidak pernah efektif. Sulit mencari bukti itu dalam literatur adiksi.

Kebutuhan akan zat adiktif atau perilaku yang digandrunginya, seperti judi, minum-minuman keras, gaya hidup yang hedonisme akan memberi dorongan yang amat besar bagi si pelaku sehingga mengalahkan mekanisme berpikir rasional dan rasa takut akan konsekuensinya. Karena itu, pencandu narkoba adalah residivis paling umum di lembaga pemasyarakatan di mana pun di dunia. Pertanyaannya, mengapa?

Adiksi Penyakit kronis
WHO (2002) mengakui adiksi sebagai sebuah penyakit kronis yang sering kambuh (chronically relapsing disease). Untuk itu, perawatan dan rehabilitasi jangka panjang (lebih dari enam bulan) dibutuhkan. Bukti-bukti empirik menunjukkan, perawatan dan rehabilitasi saja tidak cukup, dibutuhkan program purnarawat yang jangka waktunya bisa lebih dari enam bulan.

Karena untuk mencapai kondisi ”pulih” seorang adiksi narkoba harus melewati tiga tahapan pemulihan yaitu : ’ Tahap Rehabilitasi Medis’, Tahap Rehabilitasi Non Medis’ dan ’Tahap Bina Lanjut’ (after care). Semua ini berarti, ”penyembuhan” terhadap individu yang mengalami permasalahan adiksi narkoba bukan proses sederhana. Para ahli sepakat, pencandu narkoba mempunyai masalah medis, psikologis, dan sosial yang serius.

Kita tahu, musuh masyarakat bukan pencandu, tetapi produsen dan pengedar. Statistik Dep.Kum dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pencandu (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Hukuman mereka juga lebih ringan dibandingkan dengan pencandu.

Pemenjaraan pencandu menyebabkan penjara penuh dan overcrowded, terjadinya kekerasan dan eksploitasi, penularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan pengembangan jaringan baru yang melibatkan pencandu dalam kejahatan narkoba terorganisasi. Jika kita memahami persoalannya seperti ini, mengapa kita terus melakukan kesalahan yang sama?

Mungkin tanpa kita sadari dengan semakin banyaknya jumlah orang yang menjadi penghuni penjara maka semakin banyak pula negara kehilangan sumber produktivitas SDM. Belum lagi negara harus membiayai fasilitas dan biaya operasional setiap Lapas. Jika dipikirkan matang-matang, seorang pencandu—yang dalam banyak kasus kehilangan tujuan hidup—dapat ditangani secara lebih kreatif dan bermanfaat.

Penjara seolah menjanjikan adanya detoksifikasi dengan model kalkun dingin (cold turkey), yaitu bebas dari zat/obat adiktif. Namun, dengan maraknya peredaran narkoba di penjara, detoksifikasi pun tidak mungkin dijalankan secara efektif.

Tindakan selanjutnya, yaitu perawatan dan rehabilitasi, jelas tidak dapat terpenuhi di dalam penjara karena programnya tidak dirancang khusus untuk itu. Dibandingkan dengan panti rehabilitasi pecandu narkoba yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta yang jauh lebih lengkap, kondisi, fasilitas dan sumber daya manusia di Lapas cukup memprihatinkan. Akibatnya, banyak pencandu yang sakit, ketularan penyakit (termasuk HIV/AIDS), dan meninggal.

Karena tingginya penularan HIV di penjara, negara bahkan terpaksa membuat program baru, seperti rumatan metadon dan program pengurangan dampak buruk (harm reduction) lainnya.Selain itu program rehabilitasi di Lapas kadang dijadikan sarana untuk ’mengisi waktu luang saja’ tanpa diiringi oleh kesungguhan dari dalam diri untuk ’sembuh’ dari penyakit adiksinya.

Orang-orang seperti Roy Marten atau Fariz RM akan lebih bermanfaat, bagi dirinya dan orang lain, jika dimasukkan dalam program rehabilitasi medik, lalu sosial. Mereka perlu mencari makna hidup dengan membantu orang lain melalui bakat-bakat dan kemampuan mereka.

Mengelola sumber daya di dalam negara yang miskin—walau katanya kaya—seperti Indonesia, kita harus pandai-pandai berhemat. Ini bukan hanya soal finansial, melainkan justru soal memaksimalkan modal sosial yang ada. Jangan sampai bakat- bakat para pencandu habis dipenjara sekaligus bersama tubuh dan jiwa mereka.

Investasikan sumber daya yang sangat langka di negara ini untuk memerangi narkotikanya, mencegah dampak buruknya, dan mendidik masyarakat. Pencandu bukan musuh masyarakat. Oleh karena itu marilah dari sekarang kita lebih memfokuskan diri bagaimana menangani pecandu narkoba yang lebih efektif dan efesien lagi.

Apakah mereka butuh rehabilitasi dan perawatan, ataukah jeruji penjara yang hanya bisa menahan sementara rasa sugesti tanpa ada cara untuk bisa menghilangkanya?? Dan kemudian setelah keluar penjara kembali relapse??. Jangan sampai kita terjebak ke dalam lingkaran masalah yang tak ada ujungnya.
(Sumber : Irwanto Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya)

0 Tulis komentar Kalian disini...: