Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

Tanpa Bicara, Tanpa Musyawarah Langsung Menghukum tanpa Ampun.... Menangis karena menjadi salah satu kaum miskin, siap terkurung didalam jeruji besi dijebloskan oleh orang-orang yang kecewa dengan prilaku diluar sadar...

Katanya untuk memberi pelajaran, namun yang terjadi saya belajar namun stigma dan diskriminasi masih terus mengkungkung kehidupan kami, inikah yang dinamakan pelajaran? inikah keadilan? entah apa yang mereka lakukan padaku, aku dan namaku hancur berkeping-keping menjadi pasir yang siap dibentuk menjadi sebuah patung sebagai tanda pengenangan akan prilaku kotor yang pernah dilakukannya, sehingga kebencian dan perendahan harga diri, perendahan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh komunitas kita sendiri, terkenang menjadi abadi, sampai anak cucuku mungkin akan merasakan dampak kehidupan kecil yang salah, menjadi dampak besar yang luar biasa.

Di dalam hukum tak mendapatkan keadilan, tak diberikan makan dan minum didalam masa tahanan satu malam, beginikah yang harus dilakukan aparat hukum kita, harga yang didapat tak seberapa, namun harga yang harus terganti menjadi 3 kali lipat. beginikah keadilan untuk kaum miskin kota seperti kami? kami tak pernah mendapatkan perlindungan hukum apalagi yang namanya penasehat hukum.

Tak ada yang adil didunia ini kawan, meski kita hidup dalam satu perjuangan, sebab kepentingan pribadi lebih diutamakan dibandingkan kepentingan perut sanak keluarga kita yang kelaparan, padahal diantara mereka sudah cukup terpenuhi kesejahteraan ekonominya, apalah artinya pencurian yang kami lakukan hanya senilai sepiring nasi untuk bertahan? namun bukannya kebaikan yang didapatkan penjara stigma yang dilakukan oleh mereka.

Tak pernahkah mereka merasakan situasi yang aku alami hingga saat ini, hingga detik ini, tak bisa kemana-mana, takut akan stigma dan diskriminasi dari sesama terhadap istriku. Tak pernahkah mereka rasakan, atau tak salahkah yang meraka teriakan? dimanakah keadilan untuk kami? dimana-mana tak pernah ada, tak pernah teralami oleh orang-orang seperti kami, hanya kita harus berani melawannya, namun siapakah kekuatan kita, karena kami sedang lemah tak berdaya membutuhkan energi dan kekuatan baru untuk melawan dan mereformasi sistem perjuangan yang ada dikita, sebab yang terjadi selain korupsi, penyindirian satu sama lain juga penghinaan terhadap kemanusiaan sesungguhnya ada pada diri kita, diri kalian maka kuanggap salah yang kalian teriakan!!!



Bahwa Kebijakan Dunia mengenai Perang Terhadap Narkotika telah diterapkan dengan cara mendiskriminasi pengguna narkotika dan zat psikoaktif dari kehidupan ekonomi sosial dan budaya yang mengakibatkan mereka mengalami pengisolasian dalam hidup yang sengaja diciptakan secara terstruktur dan sistimatis.

Undang – Undang Narkotika Indonesia juga telah mengkriminalkan pengguna narkotika dan zat psikoaktif.
Diskriminasi tersebut telah menindas pengguna narkotika dan zat psikoaktif yang dapat dilihat dan dijelaskan bahwa sampai saat ini pengguna napza mengalami kesulitan dalam mendapatkan hak kesehatan yang membuat mereka semakin rentan tertular HIV dan Hepatitis C; hak terhadap pendidikan sehingga tercipta aturan yang mengharuskan mereka keluar dari sistim pendidikan; hak pekerjaan yang membuat mereka lemah secara ekonomi; hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum sehingga mereka sering mendapatkan penyiksaan dan pelecehan; hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara sebagai korban.

Kegagalan penanganan distribusi gelap narkotika telah mengorbankan pengguna napza sebagai manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahwa pengguna napza perlu melibatkan diri dan dilibatkan secara sadar untuk menentukan arah kebijakan narkotika dan psikotropika untuk mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak – hak dasar manusia. Bentuk pelibatan ini akan menghilangkan stigma dan diskriminasi sekaligus membuat negara menjamin seluruh hak warganya.

Setelah Kongres ke-1 Persaudaraan Korban Napza Indonesia yang disingkat PKNI di Makassar tanggal 17 Juni 2008. Yang kemudian menginisiasi Pengguna Napza di beberapa daerah untuk melakukan kegiatan Pengorganisasian dan Pendidikan.

Dengan keadaan ini maka munculah kelompok- kelompok Pengguna Napza yang merupakan korban dari kebijakan NAPZA di Indonesia dengan terus mengorganisir diri dan melakukan upaya upaya advokasi untuk menyuarakan hak-hak korban napza yang telah lama ditindas.

Untuk mengaspirasi kebutuhan ini dibentuklah sebuah organisasi Lokal yang bernama Jaringan Korban Napza Jogjakarta, yang kemudian sebagai wadah bersama untuk memperjuangkan hidup sebagai manusia seutuhnya.

JAKARTA (Suara Karya): Departemen Sosial (Depsos) mulai memperhatikan kesulitan panti-panti rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika, obat-obatan, psikotropika, dan zat adiktif (napza). Pada tahun 2009 Depsos menggelontorkan subsidi dana lebih kurang Rp 3 miliar untuk 1.000 orang korban penyalahgunaan napza di panti swasta yang dikelola masyarakat.

Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengatakan, kemampuan pemerintah memberikan subsidi untuk korban penyalahgunaan napza masih kecil. Itu terjadi karena terbatasnya anggaran.
"Tahun 2009 dan 2010 anggaran untuk Depsos tidak ada kenaikan, lebih kurang hanya Rp 3,4 triliun. Kami berharap masyarakat mengambil peran yang lebih besar untuk penanggulangan masalah sosial, termasuk penanganan korban penyalahgunaan napza," ujar Bachtiar Chamsyah usai melepas jalan sehat dalam rangka Hari Antinarkoba Internasional (HANI) 2009 di Silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (12/7).

Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Yanrehsos) Makmur Sunusi, PhD, menambahkan, subsidi untuk korban penyalahgunaan napza diberikan sebesar Rp 3.000 per hari per orang untuk 1.000 orang di 78 panti rehabilitasi korban penyalahgunaan napza yang dikelola masyarakat. "Kita harapkan pada 2010 subsidi itu ditingkatkan menjadi untuk 1.500 orang," kata Makmur Sunusi.

Padahal, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Informasi Depsos, jumlah korban penyalahgunaan napza di Indonesia mencapai 3,4 juta orang. "Sebenarnya data itu menunjukkan fenomena gunung es, bisa lebih dari 3,4 juta orang," ujarnya menambahkan.

Lebih lanjut Makmur Sunusi menjelaskan, apabila Dirjen Yanrehsos diberi anggaran Rp 100 miliar, ia optimistis mampu menekan 70 persen masalah sosial yang dialami korban penyalahgunaan napza. "Yang sangat penting adalah setelah mereka melewati rehabilitasi, secara medis dan nonmedis, kemudian dikembalikan ke masyarakat, tugas Depsos adalah membantu reintegrasi, sehingga mereka dapat diterima kembali," ucap Makmur.

Program reintegrasi bagi korban penyalahgunaan napza itu tidak bisa optimal kalau hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, Depsos, dan departemen terkait. Namun, pemerintah daerah dan masyarakat harus mengambil peran, sehingga penanganan reintegrasi bisa optimal.

Sementara itu, Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Penyalahgunaan Napza Max H Tuapattimain menambahkan, saat ini hanya ada dua panti rehabilitasi korban penyalahgunaan napza, yakni Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan, Bogor dan Panti Sosial Pamardi Putra Insyah, Medan. "Masih ada delapan panti lagi yang dikelola oleh pemerintah daerah, namun jumlah itu masih sangat kurang," kata Max H Tuapattimain. Sebanyak 3.000 orang mengikuti jalan sehat dalam rangka Hari Antinarkoba Internasional (HANI) 2009. Seniman gaek Mbah Surip, pria berpenampilan eksentrik dan mendadak populer dengan syairnya "Tak Gendong ke Mana-mana", menjadi bintang dalam acara tersebut. (Yon Parjiyono)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=231142

Senin, 08 Maret 2010

Perang NARKOBA: Siapa Musuh Kita?

Banyak di antara Anda mungkin dengan mudah menjawab pertanyaan siapa sebenarnya 'musuh' dalam perang narkoba di Indonesia. Sebagian besar Anda akan dengan cepat menjawab: "Bandar!"

Tapi, pernahkan Anda berpikir akankah para bandar itu tertarik untuk menjaja narkoba jika tidak ada pasar? Pasar bicara tentang 'demand' atau permintaan. Dan hukum ekonomi itu sederhana: tidak ada permintaan, tidak akan ada penawaran. Jika ada permintaan, bisa dapat untung. Beres. Sesederhana itu ekonomi narkoba.
Jadi, mungkinkah bandar itu hanya ada karena adanya permintaan pasar? Bisa jadi. Masalahnya sekarang, sama seperti yang dihadapi para manajer pemasaran dalam menentukan strategi menjual produknya, mereka tidak hanya menunggu respons pasar terhadap produk, tapi mereka sudah lebih proaktif dalam menciptakan pasar. Pasar dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga muncul kebutuhan akan produk yang dijual.

Bandar juga akan terus eksis jika ada yang membeking pembentukan pasar. Siapakah mereka itu? Mungkin merekalah sang ”pencipta pasar” yang merupakan musuh terbesar dalam perang narkoba ini.

Tapi pertanyaan yang lebih jauh lagi: dari mana datangnya permintaan pasar itu sendiri. Mengapa ada pasar yang menuntut barang haram itu untuk terus diperdagangkan? Jika mau memikirkannya secara lebih dalam, mungkin jawabannya juga sederhana: niat manusia.

Niat manusia itu inherent sifatnya. Tapi tidak bisa dilepaskan dari sejumlah faktor yang bisa disingkat menjadi: COBA (curiosity = rasa ingin tahu, opportunity = kesempatan, biological = kondisi biologis, availability = ketersediaan). COBA adalah faktor-faktor yang saling melengkapi dalam pembentukan sebuah niat, dan lebih khusus lagi niat untuk mengonsumsi narkoba. Bila hal ini terjadi, permintaan pasar terhadap narkoba akan semakin tinggi.

Peter Parker, tokoh jagoan Spiderman pernah berkata “The greatest battle lies within.” Sebuah pertempuran terbesar sebenarnya terjadi di dalam diri kita sendiri.

Musuh terselubung

Namun, bagaimana dengan para ahli kimia yang menyintesis pil-pil amfetamin pemberi sensasi tertentu itu? Bagaimana pula mereka yang mendesain pil-pil psikotropika (designer's drugs) itu - apakah mereka sebenarnya 'pencipta pasar' itu?

Atau, perusahaan farmasi raksasa dengan segudang kepentingan ekonomi yang berdiri di belakang para perancang pil ini? Rasionalnya sederhana: siapa yang menguasai ekonomi, menguasai dunia.

Fenomena ini dimulai sekitar 100 tahun lalu. Bisa saja jika kita salahkan seorang ahli kimia Jerman bernama Hoffman yang tidak sengaja 'membocorkan' efek samping dari heroin ke pasar, sekitar tahun 1897.

Atau ahli psiko-farmakologi Amerika, Gordon Alles, yang meresepkan amfetamin untuk meningkatkan semangat para serdadu di masa perang dunia kedua. Apakah ini semua salah mereka sehingga 'obat-obatan' ini keluar dari lingkungan medis, diproduksi secara massal di luar bendera farmasi karena ada pasar yang menyambut?

Bagaimana dengan tekanan teman sebaya atau ketersediaan narkoba? Ah, ini alasan klasik, tapi banyak yang bersembunyi di balik hal ini. Tampil 'lemah' terhadap tekanan sosial padahal di dalam kalbu sebenarnya telah lama terkandung niat, maka lahirnya sebuah perilaku hanyalah masalah waktu. Intent prior to content.
Bagaimana dengan rumor seputar penegak hukum sendiri? Walaupun ini bisa jadi sebuah tuduhan semata, banyak pecandu mengakui bahwa narkoba termurah biasa mereka dapatkan 'lewat pintu belakang' kantor polisi tertentu. Kasus seperti ini pernah terungkap beberapa bulan lalu di Bogor. Bahkan beberapa media sempat melansir ditemukannya jaringan narkoba di LP Cipinang.

Jika demikian, di mana sebenarnya posisi penegak hukum? Jangan-jangan ada yang berkedok penegak hukum, menjadi musuh dalam selimut perang terhadap narkoba ini.

Apa pendapat Anda tentang orang tua yang mengaku sayang anak, tapi sering tidak peduli pada anaknya? Orang tua yang kurang memberi waktu; jarang berada di rumah; kurang komunikatif; enggan terlibat aktif dalam kehidupan anak.

Tak sedikit pula orang tua yang tidak pernah memberi batasan etika dan moralitas kepada anak-anaknya tentang rokok, alkohol, seks bebas dan narkoba. Bukankah orang tua yang demikian pantas untuk diposisikan sebagai silent killer yang 'membunuh' anak dari dalam? Sedih memang untuk mengakui jika orang tua seperti ini-- secara tidak langsung--tergolong musuh dalam selimut.

Jadi, siapa sebenarnya 'musuh' dalam perang narkoba: Bandarkah? 'Pencipta pasarkah'? Niat dasar manusiakah? Peneliti dan ahli kimia? Dokterkah atau penegak hukum? Atau, jangan-jangan kita sendiri sebagai orang tua?

Saya berpikir cukup lama untuk memilah-milah siapa sebenarnya yang ada di pihak lawan dan siapa yang ada di pihak kawan dalam perang narkoba ini.

Tidak ada jawaban yang sederhana untuk memosisikan berbagai pihak dalam percaturan perang narkoba. Semua pihak bisa jadi lawan, bisa jadi kawan. Dia menjadi lawan ketika memfasilitasi penyalahgunaan dan peredaran narkoba - baik secara langsung atau tidak langsung. Dan dia pun bisa menjadi kawan ketika membantu mencegah penyalahgunaan dan peredaran narkoba.

Di manakah anda berdiri?

Minggu, 07 Maret 2010

NARKOBA UNTUK KELUARGA BERMASALAH ?

Written by Narasumber Wednesday, 07 October 2009 06:15

Cuplikan kisah nyataantara Tania dan Mamanya adalah sebuah contoh klasik yang seringterjadi pada para penderita narkoba. Ketidakharmonisan keluarga,perceraian, kemarahan, perasaan bersalah dan kemiskinan merupakankomponen-komponen yang saling bersinergi dan bermuara padapenyalahgunaan narkoba berkepanjangan. Sudah banyak cerita-ceritakelabu dari keluarga-keluarga seperti ini. Namun benarkah nakoba hanyaterjadi pada keluarga bermasalah saja ? Apakah tidak mungkin narkobaterjadi pada keluarga baik-baik, yang harmonis dan taat beribadah ?

Hasil riset dari YCABtahun 2001 tentang Profil Pecandu menemukan fakta yang cukupmengejutkan bahwa enam dari sepuluh pecandu biasa menggunakan narkobadi rumah, padahal mereka memiliki ibu yang tidak bekerja (ibu rumahtangga). Ini berarti penyalahgunaan narkoba terjadi pada saat salahsatu orang tua berada di rumah dan dilakukan di lokasi yang menurutkebanyakan orang berada dalam kendalinya. Beberapa kasus memperlihatkanbahwa narkoba juga terjadi pada keluarga yang tidak kekurangan,hubungan antar anggota keluarga harmonis, dan orangtua tidak bercerai.Tentu saja orang tua dari keluarga ini akan terpukul sekali manakalamengetahui anaknya menggunakan narkoba. Fakta ini memperlihatkan bahwanarkoba bisa menyerang keluarga manapun, tidak peduli dari keluargabaik-baik ataupun keluarga yang berantakan.

Sebetulnyaapa yang membuat seorang remaja dari keluarga baik-baik bisa tetapterkena narkoba ? Ada beberapa hal yang diduga terkait dengan masalahini. Pertama adalah dari diri orangtua itu sendiri dan yang keduaberasal dari diri si anak. Dari diri orangtua misalnya, ada semacampersepsi yang keliru bahwa jika seorang anak sudah dicukupikebutuhannya, diberi fasilitas yang memadai, dan sudah diberipembekalan spiritualitas, itu sudah cukup. Mereka merasa aman dan yakinbahwa anaknya tidak akan mencoba narkoba. Keyakinan semu ini kemudianmembuat mereka merasa tidak perlu memberikan informasi mengenai narkobasama sekali. Padahal ketidaktahuan ini seringkali berakibat fatal.

Hallain yang berasal ada pada diri orangtua adalah tentang komunikasi.Banyak orangtua yang mengatakan bahwa komunikasi dengan anaknya sudahbaik. Mereka merasa bahwa mereka sudah berbincang-bincang danmemberikan nasihat pada anaknya. Namun sebagaimana yang disinyalirColondam (2007) banyak orangtua merasa telah memberikan informasi, akantetapi sesungguhnya informasi tersebut tidak diterima oleh anak. Halini bisa terjadi karena saat penyampaian yang tidak tepat, anak sedangtidak perhatian, cara penyampaian yang tidak nyambung dengan duniaanak, atau gaya bahasa yang tidak dipahami anak.

Daribeberapa kasus ditemukan bahwa kepekaan terhadap anak juga menjadisalah satu hal yang bisa membuat orangtua tidak sadar bahwa anaknyatelah terlibat dalam narkoba. Hal-hal yang remeh bagi orangtua mungkinpenting bagi anak. Perubahan tingkah laku sekecil apapun sebaiknyadiwaspadai sebagai sebuah indikator. Perubahan selera musik, liriklagu, gaya berpakaian, potongan rambut, dan sebagainya bisa jadimenggambarkan adanya sesuatu yang tengah terjadi pada diri anak kita.Banyak orang yang merasa sangat yakin bahwa karena dia adalah anaksaya, maka saya kenal betul dengan dia. Padahal sesungguhnya harusditelaah terlebih dahulu, berapa banyak waktu yang dihabiskan orangtuabersama anaknya. Mana yang lebih sering ia bersama teman-temannya ataudengan guru lesnya atau bersama orangtuanya ? Orangtua yang memilikitidak cukup peka terhadap perubahan yang terjadi pada anaknya, bisajadi akan sangat terkejut manakala mengetahui anaknya terjerumus dalampenyalahgunaan narkoba.

Darisisi anak, berdasarkan kasus-kasus yang pernah ada, diketahui bahwaketerlibatan dalam narkoba juga disebabkan oleh ketidaktahuan anaktentang narkoba. Mereka asing sama sekali dengan dunia tersebut,sehingga ketika ditawari mereka mau saja. Coba-coba lalu berkembangmenjadi terbiasa dan akhirnya sulit lepas. Ada juga kasus dimana anakternyata memiliki kesulitan untuk mengelola kepercayaan yang diberikanorangtuanya. Orangtua sudah memberikan kepercayaan yang besar kepadamereka, tidak melakukan pengawasan, jarang mempertanyakan setiapkeputusan yang diambil anak. Namun banyak anak tidak tahu sampai dimanabatas kebebasan ini. Sehingga keputusan membina pertemanan denganpencandu atau mencoba narkoba, dipersepsikan masih berada dalam koridorkebebasan yang mereka miliki.

Hallain yang ditemukan dari beberapa kasus penyalahgunaan narkoba padakeluarga baik-baik adalah adanya anak-anak yang mengalami kejenuhanterhadap aturan-aturan keluarga. Harus diakui pada keluarga yangdikatakan ‘baik-baik’ biasanya ada penegakan disiplin dan aturan sejakdini. Seiring dengan berjalannya waktu, muncul kejenuhan atas hal ini.Mereka lalu mulai melakukan pemberontakan, namun pemberontakan yangdilakukan adalah pemberontakan yang ‘sopan’. Dan anak-anak ini ternyatatetap bisa tampil manis di depan orangtuanya. Mereka pandai sekalimenyembunyikan kondisi sesungguhnya di depan orangtuanya.

Pengakuanlain yang muncul dari anak-anak baik yang terlibat dalam penyalahgunaannarkoba adalah karena mereka merasa perasaan atau pendapatnya tidakdihargai. Mereka paham sepenuhnya bahwa hal-hal yang mereka keluhkanmungkin adalah masalah kecil saja bagi orangtuanya. Namun hal itusangat penting bagi mereka. Misalnya saja tentang potongan rambut,sikap teman yang tidak menyenangkan atau adanya jerawat di wajah yangmeresahkan. Kadang-kadang mereka juga ingin dilibatkan dalampengambilan keputusan, seperti membeli mobil atau pindah rumah. Namunseringkali orangtua menganggap pendapat mereka tidak penting. Perasaantidak-dianggap ini membuat mereka lalu mencari situasi lain yangmembuat mereka bisa mendapatkan perhatian atau didengarkan pendapatnya.Lingkungan pertemanan menjadi salah satu alternatif. Dan jika merekamasuk ke kelompok yang salah, maka kemungkinan untuk terkena narkobabisa terbuka lebar.

Pemaparanini tidak bermaksud menakut-nakuti keluarga baik-baik. Tulisan inidimaksudkan untuk mengajak kita senantiasa waspada atas apa berbagaikemungkinan yang bisa terjadi pada anak kita. Narkoba memang tidakpandang bulu. Percaya ?


-Selain jumlah pengguna narkoba semakin meningkat, kekerasanterhadap pengguna narkoba turut menjadi masalah. Indonesian CoalitionFor Drugs Policy Reform mencatat berdasarkan data yang diperoleh dari11 penelitian di sebelas kota di Indonesia, diperoleh data sekitar 1709pecandu ditahun 2007, 668 orang diantaranya pernah mengalami kekerasanfisik, 522 mengalami kekerasan mental dan 60 orang mengalami pelecehanseksual.

Direktur Program Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, UniversitasKatolik Atmajaya,yang juga turut ambil bagian dari ICDPR Ricky Gunawanmengatakan dalam konferensi pers ICDPR di Jakarta, Rabu (11/3), 8O-90%pengguna narkoba yang menjadi korban kekerasan petugas ditangkap tanpamenggunakan surat penangkapan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sertamengalami masa penangkapan lebih dari lima hari."Sebagai contoh,kamimenemukan kasus penyiksaan dmana seorang pemakai narkoba di Medanmengalami penyiksaan dengan diseret yang berjarak sekitar daerahbaturaja hingga bunderan HI," tukasnya.

Kekerasan itu,diakuiRicky,disebabkan UU no.5 tahun 2007 tentang Narkotika tidakmemberlakukan perlindungan terhadap pengguna narkoba dan dari 104 pasalyang termaktub didalamnya hanya tiga pasal yakni pasal 78 tentangkepemilikan narkoba,pasal 82 tentang ekspor jual beli narkoba dan pasal85 tentang pemakai,yang paling sering digunakan. Stigma penggunaNarkoba merupakan kriminal menurutnya berawal dari sini.

Selainitu,stigma di masyarakat turut membentuk hal tersebut. Masyarakat,kataRicky,begitu alergi dengan pengguna Narkoba. Beragam sebutan sepertisampah masyarakat dan manusia tak berguna menjadi sterotip negatifsebagai dampak hukuman sosial."Akibatnya,masyarakat teralihkanpenilaiannya terhadap perlindungan hak asasi manusia,"tukasnya.

Merry,salahseorang korban pelecehan yang dihadirkan dalam konferensi pers turutmemberikan kesaksiannya.Dia mengaku mengalami tindak kekerasan olehoknum polisi di tahun 2004. Kala itu, Merry bersama pacarnya sedangmengkonsumsi putaw di Jalan Laturharhary, Jakarta Pusat. Kemudian diaditangkap petugas.

Oleh petugas, dia bersama pacarnya diangkutke polres Metro Jakarta Selatan. Dalam perjalanan, Merry yang mengakumatanya ditutup ketika itu mengalami pukulan demi pukulan oleh petugas.Belum cukup sampai disitu, dia pun harus mengalami "tukar body". "TukarBody" merupakan bentuk barter antara pengguna narkoba perempuan denganpetugas. Kesepakatannya, jika sang wanita ingin merubah BAP ataudibebaskan dan mendapat pasokan narkoba selama di tahanan maka harus"melayani" oknum petugas.

"Itu saya alami ketika saya dibawa keruang olah raga diluar sel penjara. Setelah diberi narkoba secara tidaksadarkan diri,saya pun melayani petugas yang berada disana,"ungkapnya.Dia pun akhirnya terlibat selama beberapa tahun sebelum akhirnya diamelepaskan diri.

Kini Merry positif mengidap HIV, dan sedangmenjalani masa rehabilitasi program metadon untuk mengurangiketergantungan narkoba yang menggunakan jarum suntik. Rehabilitasitersebut telah dijalaninya selama setahun. Dia berharap kelak kebijakannarkoba akan lebih memperhatikan pengguna. Karena dia meyakini begitubanyak orang diluar sana yang mengalami mimpi buruk sepertidirinya."Saya ingin diperlakukan sama seperti yang lain," harapMerry./cr2/itz

(Sumber : http://www.republika.co.id/berita/36923/Kekerasan_Kerap_Menimpa_Pengguna_Narkoba)


Written by Riza Sarasvita Thursday, 15 October 2009 16:33

Masalah kesehatan yang paling menarik perhatian berbagai sektor danprogram adalah masalah gangguan penggunaan NAPZA. Bukti-bukti ilmiahterkini telah menunjukkan bahwa penyalahgunaan NAPZA khususnya merekayang telah mengalami fase ketergantungan, adalah brain disease, dimanaproses kuratifnya membutuhkan waktu yang panjang dan cara penangananyang komprehensif. Sayangnya, sebagian besar pemangku kepentingan dibidang NAPZA cenderung mengabaikan fakta yang penting ini. Pendekatanyang digunakan cenderung bersifat moral model. Solusi penangananpunlebih dititikberatkan pada pendekatan penegakan hukum. Pendekatanpenegakan hukum ini cenderung melarikan pengguna pada penjara daripadaprogram terapi dan rehabilitasi. Sesungguhnya pendekatan penegakanhukum itu sendiri di berbagai belahan dunia sudah terbukti kurangefektif dalam merubah perilaku ketergantungan seseorang. Ada banyaklaporan, baik yang dilakukan secara sistematis maupun pribadi bahwaperilaku ketergantungan NAPZA terus berlanjut sekalipun seseorang telahberada dalam lembaga pemasyarakatan / rumah tahanan. Tulisan ini tidakbermaksud mengatakan bahwa penegakan hukum tidak penting, melainkanlebih menyoroti bagaimana sebaiknya sebuah kebijakan dapat menyokongperubahan perilaku positif bagi mereka yang menyalahgunakan NAPZA.

Kita tahu bahwa terdapat dualisme hukum positif yang berlaku diIndonesia saat ini. Hal ini tercermin dari isi pasal-pasal pada UU no.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU no. 22 tahun 1997 tentangNarkotika. Uraiannya adalah sebagai berikut:

• UU no 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

o Pasal 17 dan 38 yang mengatur tentang kewajiban menjalani rehabilitasi

o Pasal 59 yang mengatur tentang ancaman pidana penjara

• UU no 22 tahun 1997 tentang Narkotika

o Pasal 45, 47 dan 48 tentang kewajiban menjalani rehabilitasi

o Pasal 78 dan 79 tentang ancaman pidana penjara

Seoranghakim pada sebuah pengadilan negeri di Jakarta pada saat diwawancarapernah mengatakan bahwa hakim pada umumnya tahu mengenai dualisme ini,tetapi tidak cukup memiliki keberanian untuk memutuskan wajibrehabilitasi bagi para pengguna karena ketiadaan petunjuk teknispenggunaan pasal-pasal tersebut. Selain itu, tekanan berbagai pihakuntuk putusan pidana penjara jauh lebih kuat dibandingkan putusan wajibrehabilitasi. Tidak heran bila sebagian besar pengguna NAPZA yangtertangkap oleh petugas menghuni penjara dibandingkan dengan menjalaniprogram rehabilitasi.

Dari berbagai literatur yang ada terbuktibahwa pemenjaraan tidak akan memperbaiki status kesehatan, mental danpsikologis pengguna NAPZA. Kasus warga binaan lembaga pemasyarakatanyang dirujuk ke RS Ketergantungan Obat (RSKO) sejak 2007 pada umumnyaberada pada kondisi umum yang buruk, dimana kurang lebih setengahdiantaranya sudah sulit untuk dilakukan intervensi medis oleh jenislayanan yang ada di RSKO. Mereka yang dirujuk pada umumnya adalahpengguna NAPZA yang telah terinfeksi HIV dan berada pada fase AIDS.Pertolongan menjadi sangat terlambat, sementara mereka yang masihterlihat ”sehat” di lapas/rutan dianggap tidak memiliki masalahkesehatan, sehingga belum menjadi prioritas penanganan medis. Kondisilapas / rutan yang tidak menunjang kondisi kesehatan fisik dan mentalwarga binaan semakin menjauhkan proses perubahan perilaku ke arah yangpositif.

Analisis biaya atas berbagai modalitas terapi bagi pengguna NAPZA di negara bagian di US menunjukkan bahwa:

• Untuk setiap dolar yang dihabiskan bagi setiap pengguna yang mengikutiprogram terapi dan rehabilitasi menghemat hingga 4 hingga 5 dolar atasbiaya-biaya yang terkait dengan penggunaan NAPZA (misalnya, kecelakaanakibat mabuk, kriminalitas, hilangnya produktivitas, dll)

• Dalamsetahun, proses penegakan hukum atas pengguna NAPZA menghabiskan biaya$ 39.600 dan biaya bila yang bersangkutan tidak menjalani programterapi dan rehabilitasi adalah $ 43.300 (MDA, 2002). Biaya ini jelassangat tinggi bila dibandingkan dengan pengguna NAPZA yang menjalaniprogram yang hanya menghabiskan biaya rata-rata $ 2.941 (CSAT, 2002).

Faktadi atas jelas menunjukkan bahwa program terapi dan rehabilitasi jauhlebih efisien. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa pengguna yangberada dalam program untuk kurun waktu setidaknya 3 bulan mengalamiperubahan perilaku yang signifikan. Perubahan perilaku ini dapat lebihlanggeng sifatnya apabila mereka menjalani program lebih lama danmembina kontak dengan terapis serta teman sebaya yang positif setelahselesai menjalani program.

Pemerintah perlu secara serius membuatsuatu kebijakan yang lebih mendorong pengguna untuk mencari pertolonganterapi dan rehabilitasi. Adanya wacana menjalankan ketentuan wajiblapor dapat menjadi kontra produktif atas intervensi terapi danrehabilitasi. Lapor diri lebih berkonotasi pada penegakan hukum. Bilatujuannya adalah untuk membantu mengatasi gangguan penggunaan zatnya,maka sebaiknya yang perlu diberlakukan adalan ketentuan wajib menjalaniterapi. Alokasi anggaran untuk dapat mensubsidi pengguna dalammenjalani terapi dan rehabilitasi mutlak disediakan. Pemerintah tidakperlu membangun pusat-pusat terapi dan rehabilitasi baru. Optimalisasiatas pusat layanan yang ada sekarang ini perlu dilakukan. Selain itujuga perlu dilakukan dukungan bagi sektor swasta dan lembaganon-pemerintah (LSM) yang menyediakan layanan terapi dan rehabilitasi.Kerjasama dengan sektor swasta, khususnya dalam aspek corporate socialresponsibility (CSR) yang dapat membantu masalah pembiayaan program,menjadi sangat penting. Program-program perlu ditingkatkan mutunya dandiperluas modalitasnya. Evaluasi atas keberhasilan program perludilakukan secara ajeg sebagai akuntabilitas pada masyarakat Indonesiabahwa kebijakan ini terbukti jauh lebih efektif daripada pemenjaraan.




Ketika Perempuan mau maju didalam kelompoknya khususnya yang ada di Yogyakarta Kelompok yang bernama Diadjeng awalnya bergerak di dukungan sebaya untuk perempuan yang terinfeksi HIV dan AIDS, seing dengan waktu Diadjeng membuat program dengan atas dasar kebutuhan yaitu progam utamanya adalah Gender dan HAM, lalu mereka tuangkan dalam bentuk proposal dan mereka ajukan kepada lembaga donor yang bernama HIVOS, secara hukum dan Administrasi kelompok Diadjeng belum terdaftar secara hukum dan juga tidak mempunyai account Bank atas nama kelompok, ketika proposal mereka ditanggapi dan kemungkinan besar mendapatkan dana program dari Hivos, Diadjeng meminta bantuan kepada kelompok payungnya yang selama ini memayungi Diadjeng didalam program dukungan sebaya yang didanai oleh lembaga dari jakarta yaitu Spiritia, namun dalam program Gender dsn HAM Diadjeng pun menggunakn Legalitasnya lembaga payung Victory Plus untk sebagai salah satu prasyarat mengajukan proposal ke Hivos, seiring dengan waktu proposal mereka diterima, namun masalah datang tetapi bukan datang dari pemberi dana melainkan datang dasro lembaga payungnya mereka, Diadjeng merasa selama ini selalu di kontrol oleh lembaga payung Victory Plus, didalam hal apapun termasuk didalam proposal mereka yang diterima oleh Hivos, ternya Victory menginginkan Budgeting program Gender dan HAM yang didanai oleh Hivos dikelola oleh Victory, yang dimana Victory juga ikut mengirimkan proposal ke Hivos namun proposal Victory tidak diterima, yang bikin teman-teman Diadjeng dan komunitas marah mengapa Victory ingin sekali meguasai hasil dari kerja keras Kelompok Diadjeng, sudah jelas-jelas Diadjeng akan memberikan kompensasi dari bantuan Victory didalm memudahkan prasyarat mengajukan proposal Diadjeng yaitu memaki legalitasnya Victory, Kelompojk Diadjeng ini mempertanyakan Victory itu lembaga sosial atau lembaga yang sengaja mencari uang diatas nama orang yang terinfeksi HIV dan AIDS? jelas-jelas Victory selalu ingin memegang uang dari kelompok-kelompok Marginal, teringat waktu itu ketika saya mendirikan kelompok dukungan sebaya untuk pengguna napza yaitu Contrast dan kelompok ini mau mengajukan dukungan Dana dari Spiritia, sangat berbeda sekali dari pengalamanku mengelola kelompok di Jakarta dengan di Yogyakarta, Di Jakarta kami diberikan dana kegiatan oleh Spiritia unyuk kami kelola sendiri, namun dYogyakarta kami harus memintanya ke Victory setiap kali mau berkegiatan, berarti kami tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengelola, lalu perlawananpun dimulai, kami meminta uang kami agar kami dapat belajar mengelola dana kegiatan karena kami mempunyai struktur organisasi yang harus belajar bekerja, karena kami tidak mau dana kami dipegang oleh Victroy karena bisa saja mereka mngubah permintaan dana kebutuhan kami. Hal ini pun kembali terulang ketika Diadjeng mendapatkan dana program dari Hivos, Victory hanya mau menguasai kelompok-kelompok kecil ini,dan juga maksudnya apa dari semua ini, bukankah terlihat jelas bahwa kontrol dan kekuasaan juga ingin merampok idealis dan anggaran kelompok Diadjeng ini, jika memang Victory lembaga sosial biarkanlah kelompok ini berkembang dan belajar mengelola hasil jerih payah yang selama ini mereka lakukan untuk komunitasnya, ternyata menurut kami lembaga payung Victory Plus hanyalah lembaga yang menjual belikan orang yang terinfeksi HIv dan AIDS, Perempuan bahkan akta notarisnya pun harus bisa menghasilkan uang, pertanyaannya untuk apakah dana-dana nya? karena tidak hanya dapat dana dari hasil jual beli haram tersebut, tetapi juga mendapatkan uang dari ahsil orang-orang yang bekerja dilembaga lain namun atas dasar refernsi Victory harus dipotong 25% fdari hasil gajinya tak peduli di Gaji berapaun tak peduli juga cukup untuk kebutuhan hidup atau tidak?

Pantaskah lembaga itu ada didalam negeri ini, pantaskah lembaga itu untuk tetap terlibat diposisi penting? menurut kami dibubarkan adalah yang paling sangat pentas untuk Victory Plus. Agar tidak ada lgi jual beli komunitas, jual beli program dan pemerasan dari para pekerjanya... Kelompok Melaqan lembaga Victory Plus yang Tirani, Melanggar segala aspek hak asasi manusia.

http://napzaindonesia.com/wahyunda-pejuang-ham-bagi-para-pengguna-napza-telah-berpulang.html

Denpasar – Setelah dirawat selama tiga pekan, akhirnya I Gusti Ngurah Wahyunda alias Wahyu, menghembuskan nafas terakhirnya Sabtu (6/3) tepat pukul 00.00 Wita di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar.

Wahyu menghembuskan nafas terakhirnya, setelah semua keluarga dan kerabat dekatnya berkumpul.

Selama dirawat, kondisi kesehatan Wahyu tidak stabil. Bahkan sejak Kamis (4/3) malam kondisi badan Wahyu sudah memasuki tahap kritis dan sama sekali tidak bisa diajak berkomunikasi.

Menurut Dayu Rupini, salah satu kerabat dekat yang merawat dan menunggui Wahyu sejak tiga pekan lalu, pada Jumat pagi, Wahyu sudah sama sekali tidak dapat diajak berkomunikasi, namun sempat sadar sebentar dan kemudian meninggal dunia saat pergantian tengah malam.

“Sejak Jumat pagi, kondisi Wahyu semakin kritis dan sama sekali tidak bisa diajak berkomunikasi, namun pada pukul 21.45 WITA dia sempat siuman sebentar dan minta disuapin makanan dan minuman, sembari mengajak saya dan ibu bercanda” ujar Dayu Rupini kepada NapzaIndonesia.com

Usai menyantap makanan yang disuapkan, Wahyu juga sempat minum air putih dua sendok makan, yang disuapkan ke mulutnya. Tidak lama kemudian Wahyu pun berpamitan ke Ibu dan Dayu Rupini untuk beristirahat.

Kendati keluarga, kerabat dan teman dekat berharap Wahyu sembuh dan kembali ke kondisi normal, namun Tuhan berkehendak lain. aktivis cerdas dan brilian itu pun berpulang akibat komplikasi penyakit yang dideritanya.

Di Dunia pergerakan reformasi kebijakan Narkotika di Indonesia, Wahyu termasuk salah satu aktivis yang cukup diperhitungkan ide-ide pemikirannya.

Selama sisa hidupnya Wahyu berjuang menolak diskriminasi dan stigma buruk terhadap para pengguna NAPZA di masyarakat yang menganggap mereka sebagai “sampah masyarakat”.

Menurut Wahyu para pengguna NAPZA adalah korban dari peredaran gelap obat bius atau obat-obatan terlarang yang selama ini masih terus berlangsung.

Atas diskriminasi dan kriminalisasi terhadap para pengguna NAPZA ini, Wahyu bersama rekan-rekannya menuntut agar pemerintah dan para penentu kebijakan wajib menyediakan fasilitas rehabilitasi bagi para pengguna NAPZA dan menolak pemenjaraan bagi para pengguna NAPZA.

Selain aktif di Ikatan Korban Napza (IKON) Bali dan Yakeba, Wahyu juga tercatat sebagai salah satu pendiri Indonesian Drug User Solidarity (IDUSA) atau yang lebih dikenal dengan nama Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI).(Gen)


Pingkan E Dundu dan Soelastri Soekirno

KOMPAS.com - Kehadiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ibarat genderang perang melawan penyebaran narkotika. Ancaman pidana dan denda dalam UU baru itu jauh lebih berat daripada UU lama. Akankah ia cukup bergigi dan mampu membendung gelontoran narkotika di Nusantara?

Narkotika kian menjadi momok bagi generasi muda. Kalangan inilah yang terus menerus digempur narkotika dengan kemasan aneka rupa.

Menyadari keadaan ini, pemerintah bersama DPR baru-baru ini mengesahkan pemberlakuan UU baru tentang Narkotika untuk menggantikan UU No 5/1997 tentang Psikotropika. Ada beberapa perbedaan antara UU Narkotika dan Psikotropika.

Yang paling nyata, UU baru memiliki ancaman hukuman pidana dan denda jauh lebih tinggi daripada UU lama. Ia juga memuat ancaman hukuman bagi penyidik dan jaksa yang tidak menjalankan aturan setelah menyita barang bukti narkotika.

Bahkan, hakim berwenang meminta terdakwa kasus narkotika membuktikan seluruh harta kekayaan dan harta benda istri/suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan dari kejahatan narkoba yang dilakukannya. Jika tidak dapat membuktikan, hakim akan memutuskan harta tersebut sebagai milik negara.

Kabar gembiranya, para pengguna narkoba yang dihukum penjara dan terbukti menjadi korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tempat ia menjalani rehabilitasi ditunjuk oleh pemerintah dan masa rehabilitasi dihitung sebagai masa hukuman.

Adapun soal hukuman pidana dan denda antara lain diatur dalam Pasal 111 Ayat 1, yakni setiap orang yang melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan narkotika golongan satu dalam bentuk tanaman dipidana penjara minimal empat tahun, maksimal 12 tahun, dan denda sedikitnya Rp 800 juta, maksimal Rp 8 miliar.

Ayat kedua mengatur, pelaku yang menanam, memiliki narkotika golongan satu yang beratnya lebih dari satu kilogram atau lebih dari lima batang pohon diancam hukuman penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat lima tahun maksimal 20 tahun dan denda maksimal ayat satu ditambah sepertiga. Termasuk dalam narkotika golongan satu antara lain ganja.

Sementara Pasal 118 Ayat Kedua memberi ancaman hukuman mati bagi pelaku yang memproduksi, mengimpor, ekspor, atau menyalurkan narkotika golongan dua yang beratnya melebihi lima gram. Hukuman masih ditambah dengan pidana denda maksimum Rp 8 miliar ditambah sepertiga.

Bandingkan dengan UU No 5/1997 Pasal 55 yang memberikan hukuman pidana penjara 4-15 tahun dan denda dari Rp 150 juta-Rp 750 juta untuk tindakan sama. Jika tindakan dilakukan secara terorganisir, pelaku diancam hukuman pidana mati dan denda maksimal Rp 750 juta.

Pidana maksimal berupa hukuman mati di UU narkotika juga mengancam mereka yang menjadi perantara jual beli narkotika golongan dua. Termasuk dalam narkotika golongan dua misalnya sabu.

Sepintas, peraturan baru berikut ancaman hukumannya memberikan harapan bakal menurunnya angka produksi ataupun penyelundupan narkotika. ”Kami berharap jaringan pengedar narkotika akan jera karena mendapat hukuman lebih berat,” ujar Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Anjan Pramuka Putra.

Namun, dibandingkan dengan UU Narkotika di Singapura dan Malaysia, tetap saja UU kita belum seberapa. Di dua negeri jiran itu, hukuman mati langsung mengancam mereka yang membawa lima gram barang haram semacam itu. Eksekusinya pun tak perlu waktu bertahun-tahun. Itu sebabnya, mafia narkoba tak berani bermain api di negeri tetangga dekat ini.

Bagaimana dengan kita? Bukan rahasia lagi, Indonesia menjadi bulan-bulanan penyelundup narkotika. Ratusan penyelundup baik WNI maupun warga asing dihukum penjara, bahkan 57 orang dipidana mati, tetapi pelaksanaan eksekusi terhambat aspek teknis dan yuridis.

Ringannya hukuman dan kondisi ketidakpastian hukum ini makin menjadi celah bagi mafia narkotika. Alhasil, pabrik sabu berdiri di banyak tempat di Jakarta ataupun luar kota. Gelombang penyelundup narkotika dan bahan baku pembuatnya makin tinggi.

Tengok data terbaru penggagalan penyelundupan sabu, methampetamine (dalam bentuk tablet, kristal, dan cair), ketamine (kristal bening), dan kokain pada tahun 2009 ini lewat Bandara Soekarno-Hatta. Yang jelas ketahuan petugas saja sudah 29 kali. Umumnya sabu, kokain, dan lainnya dibawa oleh kurir yang warga asing. Mereka mendapat upah kecil untuk ukuran penjualan narkotika. Rata-rata sekali membawa narkoba, kurir mendapat upah Rp 10 juta hingga Rp 25 juta.

Tren teranyar, kurir sindikat narkoba tak lagi dari Asia Timur, tetapi kini bergeser ke Timur Tengah dan India. Dalam waktu tiga hari di awal Oktober lalu, 10 warga Iran, delapan di antaranya perempuan, ditangkap sebab menyelundupkan kristal bening dan cairan diduga sabu.

Dari tangan mereka, petugas menyita 26,852 kg kristal sabu dan 22,8 liter sabu cair senilai Rp 102,064 miliar. Warga Iran itu kepada polisi mengaku diupah Rp 20 juta-Rp 25 juta per orang. ”Tapi, uang itu baru diberikan setelah barang titipan sampai tujuan,” ujar Anjan.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi saat jumpa pers terkait penangkapan 10 warga Iran mengakui, ke depan ancaman penyelundupan narkoba di negara kita makin besar. Ini terjadi, sambung Kepala Kantor Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta Baduri Wijayanta, karena kemungkinan permintaan akan narkotika sangat tinggi.

Banyak pihak mengharap UU baru, meski belum sesakti UU narkotika di negara tetangga, tetap berdampak positif bagi pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Namun, jangan lupa, UU itu memerlukan tambahan perangkat, antara lain rumah sakit yang ditunjuk jadi tempat rehabilitasi berikut pengawasnya.

Bagaimana pula dengan pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi pencandu, penambahan polisi, aparat Bea dan Cukai beserta peralatan seperti mesin sinar-X?