Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

Rabu, 11 November 2009 | 19:01 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta -Aktivis AIDS menilai Undang-Undang Narkotika,

yakni Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 yang disahkan 12 Oktober lalu berpotensi melanggar hak asasi manusia. "Potensinya berasal dari pelaku UU yang mungkin menyalahgunakan atau memberi tafsir yang salah, bukan dari rumusan pasal-pasalnya," ujar Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nafsiah Mboi dalam konferensi persnya di Jakarta, Rabu (11/11).

Koordinator Unggas Forum Indonesia Aditya Wardhana 

menyatakan meski aturannya lebih tegas, tapi timbul kewenangan yang luar biasa pada Badan Narkotika Nasional. Menurutnya, dalam perundangan narkotika terdapat perluasan kewenangan untuk menangkap dan menyadap, menunjukkan potensi yang represif. "Saya yakin arahnya justru represif," urainya. Pihaknya kini mempertimbangkan untuk uji materi sambil terus mengawal lahirnya peraturan turunan perundangan narkotika.

Totok Yulianto dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia 

menyatakan kewenangan Badan Narkotika mengabaikan asas praduga tak bersalah. 

"Badan bisa menangkap seseorang dalam 3 x 24 jam atas dasar curiga dan bisa diperpanjang 3 x 24 jam," imbuhnya dalam kesempatan yang sama.

Selain kewenangan Badan Narkotika, ia ragu akan lahirnya sejumlah peraturan turunan Undang Undang Narkotika yang baru ini. Dari yang lama saja (Undang-Undang nomor 22 tahun 1997), kata Totok, hanya 10 persen peraturan pelaksana yang ada. "Saya pesimis pemerintah bisa merumuskan," urainya.

Sementara dari isi pasal, Nafsiah mengatakan ada lima pasal dalam perundangan tersebut, yang berpotensi disalahgunakan sehingga melanggar HAM antara lain pasal 53 ayat 3 tentang bukti sah kepemilikan narkotika, pasal 54 tentang kewajiban rehabilitasi medis dan sosial.

Kemudian pasal 103 mengenai kewenangan Hakim pada pecandu narkotika,

pasal 127 ayat 3 tentang wajib lapor penyalahguna narkotika dan pasal 134 yang membahas kewajiban melapor bagi pihak yang mengetahui keberadaan pecandu narkotika.

"Nantinya kalau pencandu dan korban penyalahgunaan tidak melapor ke layanan kesehatan terdekat, 

maka akan kena hukuman," urai Nafsiah. Kewajiban ini perlu diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Alasannya, agar keluarga dan pecandu tidak takut untuk melapor, dan mereka tahu bagaimana serta tindakan yang akan diberikan. Menurut Nafsiah, perlu advokasi yang kuat agar pecandu tidak takut melapor ke layanan kesehatan karena jaminan kebebasan. Dikhawatirkan kalau tidak ada aturan yang jelas, maka pecandu dan penyalahgunaan narkotika justru menyogok atau diperas aparat ketika tertangkap. "Ketentuan pidana dari aturan wajib lapor ini sangat berat," urainya. Komisi menyatakan perlu delapan peraturan pemerintah, 11 peraturan presiden dan 16 peraturan menteri dari perundangan ini.



DIANING SARI


sumber;http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/11/1brk,20091111-207854,id.html

0 Tulis komentar Kalian disini...: