Dokumen resmi sejarah
Dalam dokumen Pusajarah TNI, dikatakan sosok Amir sebagai tokoh pemberontak dari Partai Komunis Indonesia(PKI) yang paling diincar oleh TNI. Amir merupakan salah satu pimpinan dari Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dituduh TNI mau melakukan kudeta terhadap pemerintahan Indonesia di Madiun. Di pemakaman umum Ngaliyan, Lalung, sekitar 5 km dari
Perjuangan Kemerdekaan
Sebuah versi menyebutkan bahwa Amir merupakan salah satu kandidat calon proklamator kemerdekaan, selain Soekarno-Hatta. Pilihan ini tentunya tidak berlebihan mengingat peranan yang dimainkan oleh Amir dimasa perjuangan kemerdekaan begitu besar. Dalam pandangan Amir, elemen-elemen penting dalam perjuangan adalah komunikasi dan pendidikan politik, bahasa, pers dan kantor berita, sekolah serta pendidikan rakyat. Ketertarikan ini pula yang mendorong ia giat hingga duduk sebagai pemimpin redaksi Indonesia Raja yang didirikan oleh Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI). Dalam Kongres Bahasa Indonesia di Solo (25-28 Juni 1938), Amir berbicara dengan makalah tentang "Adaptasi kata-kata asing dan konsep-konsep ke dalam bahasa Indonesia". 1938-1941, Amir merupakan salah seorang ketua redaksi majalah sastra Poedjangga Baroe dan menulis karangan-karangan tentang politik internasional. Ketika ia aktif di Partindo (Partai Indonesia), ia duduk di bagian propaganda dan penerbitan.
Sebagai pengurus Partindo, Amir lebih condong pada pandangan-pandangan kiri tapi sekaligus juga aktif dalam diskusi-diskusi Kristen sejak tahun 1931 di Christelijte Studenten Vreeninging op Java (CSV op Java) yang mendekatkan dirinya dengan tokoh-tokoh pergerakan yang beragama Kristen seperti J. Leimena, W. P. Tambunan, dll. Kedekatannya dengan gerakan kiri mengantarkannya bergabung dalam gerakan Rakyat Indonesia(Gerindo), dan ini pula yang mengantarkannya pada penjara selama 5 tahun. Setelah itu, amir bersama kelompoknya melakukan perjuangan bawah-tanah untuk melawan fasisme jepang. Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap, di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di
Revolusi memakan “anaknya” sendiri
“revolusi memakan anaknya sendiri” demikian Abu Hanifah dalam penutup artikelnya tentang Amir dalam majalah Prisma. Setelah kemerdekaan, Amir masuk dalam pemerintahan dan menjabat menteri pertahanan yang pertama. Ketika kabinet Syahrir jatuh tahun 1947, Amir membentuk kabinet yang terdiri dari 11 orang Sayap Kiri, 7 orang dari PNI dan 8 orang dan PSII. Namun, kabinet Amir kehilangan dukungan pada saat penandatanganan perjanjian renville. Perjanjian ini dianggap sangat merugikan pihak
Amir dan kawan-kawannya dari PKI dan laskar rakyat menentang program re-ra, sebagai upaya red-drive proposa ASl. Pihak Amir menuduh pihak hatta sudah menjadi agen kolaborator antara pemerintahan kolonialis Belanda dan AS dalam rangka membendung proses revolusi
0 Tulis komentar Kalian disini...:
Posting Komentar