Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us



Sudah enam puluh tahun usia deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM). Tak pernah absen, setiap tanggal 10 Desember, rakyat di seluruh dunia memperingati dan menuntut pemerintahnya agar menuntaskan seluruh persoalan pelanggaran HAM, tanpa terkecuali.

Di Indonesia, persoalan pelanggaran HAM yang tak kunjung diselesaikan berpangkal pada 3 penghambat utama, yakni masih bercokolnya: (1) Sisa-sisa lama (Golkar sebagai manifestasi sisa Orde Baru), (2) Tentara dan beserta Komando Teritorial dan perangkat-perangkat kontrolnya (KODAM, KOREM, KORAMIL dan BABINSA), serta (3) Reformis gadungan yang pengecut dan tak mandiri berhadapan dengan tentara.

Padahal, rakyat Indonesia dan para aktivis pejuang HAM tak berjeda berjuang dalam beragam bentuk tuntutan dan aksi serta mekanisme hukum; terus menerus menuntut pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi rakyat yang dilanggar hak asasinya agar para pelakunya diganjar hukuman. Sebagai contoh, tak kurang dari 88 kali, sejak tahun 2007,Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban (JSKK) pelanggaran HAM melakukan aksinya setiap hari Kamis, di depan Istana Negara—tekanan itupun baru berhasil menuntaskan kasus Munir saja (dengan kekecewaan atas hasilnya karena dirasa tidak adil).

Secara hukum, tidak banyak dan tidak signifikan hasilnya. Menurut matriks Kontras tahun 2006, dari tiga kasus pelanggaran HAM berat seperti Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984, dan Abepura, sebagian besar divonis bebas, sebagian lagi dalam proses kasasi, dan sebagian kecil yang dihukum pun kini sudah bebas, dan itupun tidak mampu menjangkau Jenderal-jenderal otak pelanggaran HAM tersebut.

Sejauh ini hukum hanya menjangkau para pelaku lapangan—itupun hanya untuk kasus-kasus tertentu yang mendapat sorotan dan tekanan politik yang besar. Seperti halnya kasus pelanggaran HAM Alas Tlogo dan pembunuhan Munir—yang baru berhasil menghukum Policarpus dan Muchdi PR saja.

Hukum tidak sanggup menangkap para Jenderal, tidak sanggup menyidangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang memiliki dampak politik besar terhadap asal usul kekuasaan politik hari ini. Hukum diam di hadapan pembantaian 3 juta rakyat tak berdosa di tahun 1965-66, kasus di Timor Timur pra-Referendum (1974-1999), peristiwa Penembakan misterius ”Petrus” (1982-1985), kasus Kedungombo, kasus Talangsari 1989, kasus Marsinah (1995), kasus 27 Juli 1996, penculikan dan penghilangan paksa para aktivis 1997-1998, kasus Trisakti dan Semangi I & II, peristiwa Mei 1998, dan kasus DOM di Aceh-Papua, kasus Bulukumba (2003),termasuk mendiamkan para penjahat dan kroni pemerintah penyebab bencana Lapindo.

Jenderal (purn.) Soeharto (mantan Presiden Indonesia ke-2), Jenderal (purn.) Wiranto (mantan Pangab), Jenderal (purn.) Susilo Bambang Yudhoyono, Mayjen (purn.) Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol.) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdam Jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya), Letnan Jenderal (purn.) Sutiyoso (mantan Pangdam Jaya),Letnan Jenderal (purn.) Prabowo Subianto, Mayjen (purn.) Zacky Anwar Makarim (Anggota Tim Pengamanan Penyuksesan Penentuan Pendapat Otonomi Khusus Timor Timur), Mayjen (purn.) Kiki Syahnakrie (Panglima Komando Operasi Penguasa Darurat Militer, Timor Timur), Mayjen (purn.) Adam Rachmat Damiri (Pangdam Udayana), Mayjen (Purn.) A. M. Hendropriyono, adalah di antara para Jenderal yang bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang masih dibiarkan berlenggang kangkung hingga hari ini.

Untuk dapat menghukum orang-orang yang bertanggung jawab tersebut, jalur hukum yang ada saat ini tidak bisa diharapkan lagi. Jalan politik dengan mobilisasi rakyat lah satu-tunya cara yang paling ampuh dan terbukti paling efektif.

Jangan Tunggu Pemilu 2009: Kekuasaan Politik Harus Diganti Sesegera Mungkin

Sejak kejatuhan Gus Dur tahun 2001, ada 3 kekuatan yang sedang dan akan berusaha terus berkuasa: 1) revitalisasi atau restorasi Orde Baru dalam manifestasi Golkar; 2) kaum reformis gadungan, terutama yang menjadi benalu (mengambil manfaat dari rakyat dan para aktivis yang berjuang mati-matian) pada momen reformasi tahun 1998, seperti PKS, PAN, PKB, PBR, PBB, dan lain sebagainya; 3) Tentara. Kejatuhan Gus Dur adalah cermin bagaimana tentara mendukung kelompok (1 dan 2 tersebut) untuk menjatuhkan Gus Dur.

Sisa-sisa lama (Orde Baru dalam wujud Golkar) dan Tentara, sedang terus mengendap-ngendap mencari celah menjarah ranah sipil kembali, bahkan sekarang semakin terbuka untuk bergerak naik ketika hampir seluruh spektrum kekuatan politik elit setuju Soeharto diampuni. Bahkan PKS yang dianggap ‘paling reformis’ pun sudah mengkooptasikan diri ke dalam lingkaran Cendana.

Kesempatan menjarah ranah sipil oleh tentara diperkuat dengan keterlibatan mereka yang tak tanggung-tanggung dan semakin kuat di dalam Partai Politik peserta pemilu 2009. Berikut adalah nama-nama partai dan para Jenderalnya menurut laporan TAPOL:

Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) dipimpin langsung oleh Jenderal (purn.) Wiranto, dibantu oleh para mantan Jenderal lainnya seperti Letjen. (purn.) Arie Mardjono dan Laksamana Muda (purn.) Abu Hartono), Mayjen. (purn.) Aqlani Maza, Laksamana (purn.) Bernard Kent Sondakh, Marsekal Muda (purn.) Budhy Santoso, Jenderal Polisi (purn.) Chaeruddin Ismael, Letjen. (purn.) Fachrul Razi, Letjen. (purn.) Suaidi Marassabessy, dan Jenderal. (purn.) Soebagyo, yang menduduki jabatan sebagai Wakil ketua Dewan Pertimbangan dan 7 Wakil Ketua partai. Sementara wakil bendaharanya adalah Mayjen (purn) Iskandar Ali.

Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) dipimpin langsung oleh Letjend (purn.) Prabowo Subianto, dibantu oleh Mayjen. (purn.) Muchdi Purwopranyoto—terpidana kasus pembunuhan Munir, dan pensiunan perwira intel Mayjen. (purn.) Gleny Kairupan yang berperan dalam kasus pelanggaran HAM Timor Timur, keduanya sebagai Wakil Ketua Partai.

Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dipimpin langsung oleh Jendral (purn.) R. Hartono, bersama Mayjen. (purn.) Hartarto, Mayjen. (purn.) H.Namoeri Anoem, Brigjen. (purn.) Suhana Bujana dan Marsekal Muda (purn.) Suharto.

Partai-partai lain yang juga menampung perwira-perwira tentara antara lain: Partai Republik Nusantara (PRN), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Barisan Nasional, dan tentu saja partai-partai pemain lama seperti Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), dan seterusnya.

Sementara jenderal seperti Sutiyoso, telah ikut mendorong pembentukan beberapa partai kecil seperti Partai Republikan, Partai Bela Negara (PBN), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) dan Partai Pemersatu Bangsa (PPB). Ia juga berhasil mendapatkan pengaruh dan dukungan dari beberapa partai seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN).


Selain itu, ilusi yang sedang dibangun saat ini adalah bahwa militer masih bisa dikontrol oleh sipil (profesionalisme TNI)—misalnya dengan adanya kementerian pertahanan dan keamanan, yang menterinya seorang sipil. Tapi tak pernah terbukti di lapangan, karena mereka tetap saja tak bisa dikontrol (kasus Alas Tlogo, kekerasan di banyak kasus agraria, perburuhan, penggusuran, dan milisi sipil reaksioner adalah sebagian contohnya). Pendidikan HAM yang didapatkan tentara pun hanya pemanis saja, karena tidak akan sanggup mengubah watak institusi tentara itu sediri, yakni: sebagai alat untuk mengamankan kaum pemodal dan alat untuk menindas kaum miskin.

Sudah cukup bukti bagi rakyat Indonesia (dan seharusnya pula bagi para aktivis pejuang HAM) bahwa pemerintahan elit hingga hari ini tidak berkehendak membela rakyat. Spektrum kekuasaan politik elit yang memimpin legislatif, eksekutif dan yudikatif pasca reformasi, adalah para reformis gadungan yang bergandengan tangan dengan sisa-sisa lama dan tentara, yang tidak bisa diharapkan punya kepentingan maupun nyali dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Oleh sebab itulah, mereka harus dijatuhkan.

1 Tulis komentar Kalian disini...:

Anonim mengatakan...

kalo gw sehh golput, karena gw yakin negara ini ga pernah menjadi lebih baik selama rakyat tidak pernah dilibatkan didalam hak sipolnya