Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

Tak terasa sudah 3 tahun berlalu, sejak 6 orang anak muda Indonesia di suatu dinihari dalam perjalanan pulang dari Vancouver menorehkan tekad dan ikhtiar diatas secabik kertas untuk mewujudkan sebuah mimpi indah. Mimpi indah itu punya nama: namanya cukup asing, Perubahan Kebijakan Publik untuk Memanusiakan Pengguna Napza di Indonesia.

Keenamnya merasakan, tersentak, tersentuh, saat Deklarasi Vancouver dikumandangkan oleh Aktivis Pengguna Napza dari berbagai negara dunia untuk memulai sebuah gerakan perlawanan menentang kebijakan napza internasional yang selama ini menafikan Hak Asasi mereka sebagai manusia.

Mungkin pada saat itu mereka belum memiliki bayangan jelas, mau dikemanakan mimpi ini. Keajaiban apa yang bisa membantu 6 orang anak muda yang minim pengalaman politik untuk mengubah sesuatu yang demikian rumit dan telah mengakar selama belasan tahun di negara mereka sendiri.

Bak gayung bersambut, konsep perubahan ini perlahan mendapat dukungan dari komunitas pengguna napza di tanah air. Sumbangan tenaga, keahlian, dana pribadi untuk sekedar berkumpul dari satu warten ke warten untuk mengonsep ini dan itu terus mengalir. Siapa bilang pengguna napza adalah sampah masyarakat, orang-orang tak berguna. Terbukti buah pikiran mereka mampu menghasilkan sesuatu yang brilian dan bersisi humanis, yang mungkin tidak mampu dihasilkan oleh orang-orang yang mendiskriminasi mereka.

Para penggagas gerakan ini adalah orang-orang yang saya kagumi. Memiliki karir yang cemerlang, pekerja keras di bidang masing-masing. Tetapi masih memiliki kepedulian akan nasib kaum-nya, yang masih bergelut dengan kekerasan aparat di jalanan, berjuang mengatasi adiksi, dan berkutat dengan kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan napza ilegal yang luar biasa mahal, karena berada di pasar gelap.

Konflik, pertentangan dan kecurigaan muncul silih berganti, sesuatu yang baru tentunya akrab dengan hal ini. Perbedaan persepsi diantara penggagas dan pendukung gerakan yang muncul kemudian menjadi indikator dinamika gerakan itu sendiri.

Kesadaran akan hak-hak dasar warga negara yang selama ini tercerabut, mulai meluas di seluruh Indonesia. Pengguna napza mulai berani berorganisasi dan mengakui dirinya adalah " Pengguna Napza " ! Suatu hal yang tabu, aib dan disembunyikan dari pengetahuan khalayak ramai justru kini diproklamirkan. " Pengguna Napza" ...apakah ada yang salah dengan itu?? Yang mendiskriminasi adalah HUKUM / UU itu sendiri yang mendiferensiasi Napza menjadi Legal dan Ilegal.

Sementara merokok tembakau dilegalkan secara tidak bertanggung jawab; perokok ganja harus main kucing-kucingan untuk menghisap satu dua batang daun kering yang mereka sukai, dengan resiko digeropyok polisi atau melewatkan 2-3 tahun di hotel prodeo, ditambah lagi dengan publikasi gratis di surat kabar lokal atau nasional ( bila ia seorang 'public figure').

Rokok tembakau kurang ketat regulasi-nya dalam sisi distribusi dan pembatasan tempat konsumsi. Faktanya anak-anak dibawah umur sangat mudah mendapatkan rokok, serta non perokok terpaksa ikut menghirup asap rokok, karena belum ada pengawasan ketat untuk tempat khusus merokok.

Dari sisi kesehatan, ganja tidak lebih berbahaya dari tembakau. Dan khasiat medis ganja telah lama dikenal berdasarkan jurnal-jurnal ilmiah keluaran terkini, maupun penggunaan tradisional secara turun temurun oleh kalangan masyarakat suku tertentu.

Hanya pada satu contoh kecil ini kita dapat melihat sebuah diskriminasi yang sangat mencolok pada satu substansi dengan substansi lain, yang satu legal, yang satu di-ilegalkan. Dan secara ilmiah, tidak ada dasar yang kuat bahwa substansi yang dilegalkan merupakan substansi yang aman untuk dikonsumsi, seperti contoh rokok tembakau diatas.

Hal ini bila dianalisa lebih dalam lagi akan menggelitik kita untuk mempertanyakan dasar dari Kebijakan Publik yang selama ini diberlakukan. Apakah pantas untuk memenjarakan orang-orang yang menyukai satu substansi tertentu, walaupun ia mengkonsumsi sesuatu yang berbahaya bagi kesehatannya ? Bagaimana dengan mengkonsumsi 'tahu berformalin' ? Atau mengkonsumsi ' MSG ' ? Jelas-jelas hal ini berbahaya bagi kesehatan sang konsumen. Haruskah ia dipenjarakan karena membahayakan kesehatan dirinya sendiri??

Akhir-akhir ini pers nasional dan daerah gencar memberitakan Inefektivitas Hukuman Pemenjaraan pada Pengguna Napza. Rekaman 'hidden camera' di beberapa Lapas / Rutan menunjukkan aktivitas penggunaan napza di dalam penjara, transaksi bahkan produksi napza juga ditemukan dalam penjara. Seruan untuk menggantikan Pemenjaraan dengan Perawatan Ketergantungan Napza ( Rehabilitasi ) mulai sering didengar oleh masyarakat. Hal inilah yang selama 3 tahun terakhir disuarakan oleh Komunitas Pengguna Napza di berbagai daerah. Bila akhirnya isu ini meraih perhatian publik dan pemangku kebijakan di tanah air, mari berharap akan segera ada pergeseran kearah yang lebih ideal.

Untuk sebagian besar masyarakat awam, hal ini sangat mengejutkan dan menimbulkan sebuah pertanyaan besar, sudah tepatkah Pemenjaraan diberlakukan sebagai Hukuman pada Pengguna Napza? Karena selama ini, Pemenjaraan tidak mampu menurunkan animo penggunaan napza dan tidak mampu menurunkan angka peredaran napza di Indonesia.

Yang terjadi adalah peningkatan Warga Binaan terkait kasus Narkotika & Psikotropika, mengakibatkan negara harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membangun Lapas-Lapas Narkotika baru yang segera penuh sesak begitu selesai dibangun. Angka kematian dan kesakitan Warga Binaan kasus Narkotika & Psikotropika cukup tinggi, terutama yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Karena ditemukan perilaku resiko tinggi penularan HIV didalam Lapas/Rutan, yaitu penggunaan jarum suntik tidak steril secara bergantian.

Sungguh suatu ironi yang menyesakkan dada. Di saat sebuah kebijakan diharapkan dapat membawa negara kita pada kemakmuran dan kesejahteraan. Nyatanya Kebijakan Napza yang diberlakukan sejak 1997 ini telah demikian banyak membunuh dan meminggirkan anak bangsa yang menjadi korban napza ke titik nadir.

Sampai dengan saat ini saya tetap memiliki keyakinan masyarakat Indonesia tidak buta dan masih memiliki hati nurani, sanggup memilah kebijakan mana yang pantas dan mana yang memerlukan perombakan total.



Ditulis oleh: Yvonne A. Sibuea , 11 Juni 2009

Memperingati Dirgahayu ke -3 PKNI ( Persaudaraan Korban Napza Indonesia) – IDUSA
( Indonesian Drug User Solidarity Association ).

0 Tulis komentar Kalian disini...: