Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

Siaran Pers – Untuk Publikasi Segera
Indonesian Coalition for Drugs Policy Reform

MENYIKAPI RENCANA PENGESAHAN RUU NARKOTIKA


Indonesian Coalition for Drugs Policy Reform (ICDPR) atau Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan Kebijakan Narkotika menolak proses pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika yang kini tengah dirampungkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Proses pembahasan RUU Narkotika dari awal hingga sebentar lagi akan disahkan telah diendapkan dari debat publik. Padahal, debat publik sebagai suatu proses untuk menguji sebuah produk hukum agar transparan dan akuntabel adalah keniscayaan yang mutlak. Lebih dasar lagi, substansi yang terkandung di dalam RUU Narkotika tidak selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) yang universal. Kelahiran prematur RUU Narkotika yang cacat HAM tentu harus dicegah. Rancangan Undang-Undang Narkotika yang tidak berdimensi hak asasi manusia, apabila disahkan, hanya akan meneruskan warisan undang-undang sebelumnya yang telah melanggengkan stigma dan diskriminasi, terutama terhadap kelompok pemakai narkotika.

ICDPR menilai ketidaksesuaian substansi RUU Narkotika dengan prinsip-prinsip HAM adalah sebagai berikut:
1. RUU Narkotika masih mengidentifikasi orang yang ketergantungan terhadap narkotika sebagai pelaku tindak pidana yang oleh karenanya harus dipenjara. Padahal, Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran Adiksi Indonesia telah menyatakan bahwa adiksi narkotika adalah sebuah penyakit yang menyerang fungsi otak, dan dapat dipulihkan. Artinya, solusi tepat untuk mengatasi masalah adiksi adalah pemulihan kesehatan bukan pemidanaan. Terlebih lagi, kelompok pemakai narkotika adalah kelompok yang paling rentan mengalami penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dari aparat kepolisian. Dengan demikian, menempatkan pemakai narkotika dalam ruang pemenjaraan tidak akan pernah tuntas menjawab persoalan kecanduan seseorang.

2. RUU Narkotika telah keliru mendiferensiasi antara pecandu dengan penyalahguna narkotika. Ketentuan pidana bagi pecandu dan penyalahguna berbeda, sekalipun dalam praktiknya, kedua subjek ini adalah sama. Akibat dari logika sesat seperti ini, RUU Narkotika menyatakan bahwa rehabilitasi sosial diberikan hanya kepada mantan pecandu bukan mantan penyalahguna. Realita yang berkembang di masyarakat, baik pecandu maupun penyalahguna sudah terlalu sering mendapat sanksi sosial dan mengalami stigma dan diskriminasi. Oleh karenanya, rehabilitasi sosial seharusnya diberikan kepada pecandu dan penyalahguna, bukan salah satu.

3. RUU Narkotika terlalu membebankan tanggung jawab dan kewajiban yang besar kepada masyarakat dalam upaya pencegahan peredaran gelap narkotika. Di saat gelombang penolakan klausula peran serta masyarakat yang bias ini di RUU dan UU lainnya, justru DPR mencantumkannya dalam RUU Narkotika. Tidak jelasnya pengaturan peran serta masyarakat berpeluang membuka ruang bagi kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan main hakim sendiri, dan bukan tindak mungkin tindakan-tindakan yang mengarah kepada premanisme. Juga yang perlu diingat, peredaran gelap narkotika adalah arena permainan para mafia dan bukanlah masyarakat awam.

4. RUU Narkotika juga mencantumkan pasal serupa di atas mengenai sanksi terhadap orang tua atau wali dari pencandu yang belum cukup umur yang tidak melapor akan dikenakan pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda sebanyak satu juta Rupiah (Pasal 128). Dari aspek viktimologis dan ilmu kriminologi, kehadiran RUU ini justru menjadi tidak berguna, karena sudah tidak ada satupun pihak yang tersisa menjadi korban yang perlu dilindungi oleh Negara dan mengkriminalisasi semua pihak secara eksesif. Bahwa orang tua harus bertanggungjawab terhadap anaknya adalah suatu hal yang semua orang pasti sudah pahami sebagai suatu kewajiban moral dan sosial. Pasal ini justru menjadikan Negara terlalu dalam mengintervensi relasi keluarga warga negaranya dengan menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban hukum.

5. RUU Narkotika memperluas kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam hal penyelidikan dan penyidikan, tanpa mengatur mekanisme kontrol baik internal maupun eksternal yang efekftif. Tanpa kejelasan mekanisme check and balances, peluang penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang dimiliki oleh BNN akan semakin besar. Jika selama ini publik hanya diposisikan sebagai pihak pelapor saja, sudah saatnya publik dirangkul untuk terlibat lebih jauh guna menjalankan peran pengawasan terhadap BNN.

6. RUU Narkotika masih mencantumkan ancaman pidana mati. ICDPR berpendapat bahwa:
a. Pertama, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran fundamental terhadap hak untuk hidup setiap manusia sebagaimana diakui dalam Konstitusi Indonesia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
b. Kedua, hukuman mati merupakan suatu bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
c. Ketiga, tujuan pemidanaan modern adalah restoratif (pemulihan) bukan retributif (pembalasan).
d. Keempat, data dan fakta di seluruh dunia menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan, termasuk kejahatan narkotika karena sesungguhnya banyak faktor yang memberikan kontribusi atas tinggi rendahnya kejahatan. Sesungguhnya, bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang jujur, adil dan transparan.
e. Kelima, hukuman mati adalah bentuk pemidanaan yang tidak dapat diperbaiki kembali (irrevocable). Sistem hukum yang dijalani oleh manusia bukanlah sistem yang sempurna dan rawan kesalahan. Nyawa terpidana mati yang sesungguhnya tidak bersalah tentu tidak dapat dihidupkan kembali. Oleh karena itulah, sudah saatnya Indonesia meninggalkan hukuman mati.

ICDPR memandang bahwa Indonesia tidak boleh kalah dan memang tidak boleh kalah dengan peredaran gelap narkotika. Tetapi kemenangan atas peredaran gelap narkotika tidaklah boleh dengan mengalahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian di atas, ICDPR mendesak DPR untuk menunda pengesahan RUU Narkotika. Apabila RUU tersebut tetap disahkan, ICDPR menolak keberadaan UU Narkotika yang baru karena telah menciderai proses demokratisasi yang telah susah payah dirintis oleh Indonesia, serta mengkhianati prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Jakarta, 13 September 2009

Indonesian Coalition for Drugs Policy Reform
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan Kebijakan Narkotika



Asmin Fransiska, S.H., LL.M.
Koordinator


Indonesian Coalition for Drugs Policy Reform |
Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atmajaya
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
STIGMA Foundation
Lembaga Penelitian HIV/AIDS Atmajaya

0 Tulis komentar Kalian disini...: