Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us


Ada sedikit menggembirakan dan bisa dipandang sebagai kemajuan terhadap respon pidana yang dijatuhkan kepada para pengguna narkoba. Sebagaimana dirilis, detiknews (20/3), Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada para hakim, setelah menjatuhkan vonis kepada pengguna narkoba, mereka sebaiknya ditempatkan di panti rehabilitasi. . Mereka sebaiknya setelah mendapat vonis, ditempatkan di panti rehabilitasi.

Apakah setiap terpidana narkoba akan mendapatkan perlakukan yang sama? Surat Edaran itu memberikan persyaratan secara detail. Perlakuan pengecualian ini hanya berlaku bagi mereka yang hanya membawa jenis narkoba, antara lain heroin maksimal 0,15 gram, kokain maksimal 0,15 gram, morfin maksimal 0,15 gram, ganja maksimal satu linting atau 0,005 gram, dan ekstasi maksimal 1 butir, serta sabu maksimal 0,25 gram. Juga yang utama tidak terdapat bukti, terdakwa merangkap menjadi pengedar atau produsen gelap narkoba.

Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan Surat Edaran ini, jika hendak tidak hanya sebagai dokumen adminstratif belaka. Paling utama, tentu saja, mekanisme kontrol terhadap hakim untuk menjalankan dengan konsisten seluruh muatan dari Surat Edaran ini. Tentu saja, hal ini bukan soal yang mudah. Selain soal independensi hakim yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun dalam memutuskan perkara, juga terkait dengan cara pandang para hakim terhadap persoalan tindak pidana narkoba itu sendiri.

Untuk soal ini perlu dilakukan peningkatan kapasitas para hakim secara khusus berkaitan dengan persoalan narkoba di Indonesia. Diskusinya menjadi tidak sederhana, karena terkait langsung dengan UU Narkotika dan UU Psikotropika, yang dengan tegas menggunakan napza merupakan tindakan kriminal sehingga harus dihukum. Dalam hal ini, para hakim harus sependapat benar, mengenai interpretasi atas UU tersebut, setidaknya ada kata sepakat mengenai upaya mengubah bentuk hukuman yang tidak harus selalu masuk ke dalam ruang tahanan.

Persoalan yang lebih teknis, seberapa kesiapan panti rehabilitasi milik negara dalam menampung mereka yang divonis dan akan dirawat dalam panti rehabilitasi. Ini perlu diperhatikan, karena kita selalu disuguhi dengan fakta ketidakasesuain antara kesiapan pada tingkat lapangan, dengan gagasan-gagasan yang memihak pada level kebijakan.

Kesemuanya akan memperngaruhi efektivitas Surat Edaran Mahkamah Agung, pada tingkat operasional. Jika tidak, kekhawatiran kita, Surat Edaran akan manggrok bukanlah hanya akan menjadi kekhawatiran, tetapi sungguh-sungguh akan menjadi kenyataan.

Kita juga penting untuk mengajak berdialog dengan mereka, untuk merumuskan secara bersama-sama, mengenai tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan secara bersama-sama pula untuk pengembangan masa depan mereka. Kesepakatan semacam ini, setidak-tidaknya, sedikit menggeser cara pandang kita, yang hanya semata-mata pengguna narkoba, sebagai pelaku tunggal dan murni kekeliruan langkah individual. Kita memandang, pengguna narkoba tidak bisa dilepaskan begitu saja keseluruhan sistem yang berlaku di negeri. Problem ketidakadilan sosial dan ketimpangan-ketimpangan dalam berbagai sektor kehidupan.

Karenanya, kita mengusulkan, Surat Edaran Mahkamah Agung, sudah semestinya diikuti oleh elemen pemerintahan yang lainnya, untuk mengubah pula cara pandang mereka terhadap pengguna narkoba dalam konteks individu dan pengguna narkoba dalam konteks sosial yang lebih luas.[]

0 Tulis komentar Kalian disini...: