Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

Written by Riza Sarasvita Thursday, 15 October 2009 16:33

Masalah kesehatan yang paling menarik perhatian berbagai sektor danprogram adalah masalah gangguan penggunaan NAPZA. Bukti-bukti ilmiahterkini telah menunjukkan bahwa penyalahgunaan NAPZA khususnya merekayang telah mengalami fase ketergantungan, adalah brain disease, dimanaproses kuratifnya membutuhkan waktu yang panjang dan cara penangananyang komprehensif. Sayangnya, sebagian besar pemangku kepentingan dibidang NAPZA cenderung mengabaikan fakta yang penting ini. Pendekatanyang digunakan cenderung bersifat moral model. Solusi penangananpunlebih dititikberatkan pada pendekatan penegakan hukum. Pendekatanpenegakan hukum ini cenderung melarikan pengguna pada penjara daripadaprogram terapi dan rehabilitasi. Sesungguhnya pendekatan penegakanhukum itu sendiri di berbagai belahan dunia sudah terbukti kurangefektif dalam merubah perilaku ketergantungan seseorang. Ada banyaklaporan, baik yang dilakukan secara sistematis maupun pribadi bahwaperilaku ketergantungan NAPZA terus berlanjut sekalipun seseorang telahberada dalam lembaga pemasyarakatan / rumah tahanan. Tulisan ini tidakbermaksud mengatakan bahwa penegakan hukum tidak penting, melainkanlebih menyoroti bagaimana sebaiknya sebuah kebijakan dapat menyokongperubahan perilaku positif bagi mereka yang menyalahgunakan NAPZA.

Kita tahu bahwa terdapat dualisme hukum positif yang berlaku diIndonesia saat ini. Hal ini tercermin dari isi pasal-pasal pada UU no.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU no. 22 tahun 1997 tentangNarkotika. Uraiannya adalah sebagai berikut:

• UU no 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

o Pasal 17 dan 38 yang mengatur tentang kewajiban menjalani rehabilitasi

o Pasal 59 yang mengatur tentang ancaman pidana penjara

• UU no 22 tahun 1997 tentang Narkotika

o Pasal 45, 47 dan 48 tentang kewajiban menjalani rehabilitasi

o Pasal 78 dan 79 tentang ancaman pidana penjara

Seoranghakim pada sebuah pengadilan negeri di Jakarta pada saat diwawancarapernah mengatakan bahwa hakim pada umumnya tahu mengenai dualisme ini,tetapi tidak cukup memiliki keberanian untuk memutuskan wajibrehabilitasi bagi para pengguna karena ketiadaan petunjuk teknispenggunaan pasal-pasal tersebut. Selain itu, tekanan berbagai pihakuntuk putusan pidana penjara jauh lebih kuat dibandingkan putusan wajibrehabilitasi. Tidak heran bila sebagian besar pengguna NAPZA yangtertangkap oleh petugas menghuni penjara dibandingkan dengan menjalaniprogram rehabilitasi.

Dari berbagai literatur yang ada terbuktibahwa pemenjaraan tidak akan memperbaiki status kesehatan, mental danpsikologis pengguna NAPZA. Kasus warga binaan lembaga pemasyarakatanyang dirujuk ke RS Ketergantungan Obat (RSKO) sejak 2007 pada umumnyaberada pada kondisi umum yang buruk, dimana kurang lebih setengahdiantaranya sudah sulit untuk dilakukan intervensi medis oleh jenislayanan yang ada di RSKO. Mereka yang dirujuk pada umumnya adalahpengguna NAPZA yang telah terinfeksi HIV dan berada pada fase AIDS.Pertolongan menjadi sangat terlambat, sementara mereka yang masihterlihat ”sehat” di lapas/rutan dianggap tidak memiliki masalahkesehatan, sehingga belum menjadi prioritas penanganan medis. Kondisilapas / rutan yang tidak menunjang kondisi kesehatan fisik dan mentalwarga binaan semakin menjauhkan proses perubahan perilaku ke arah yangpositif.

Analisis biaya atas berbagai modalitas terapi bagi pengguna NAPZA di negara bagian di US menunjukkan bahwa:

• Untuk setiap dolar yang dihabiskan bagi setiap pengguna yang mengikutiprogram terapi dan rehabilitasi menghemat hingga 4 hingga 5 dolar atasbiaya-biaya yang terkait dengan penggunaan NAPZA (misalnya, kecelakaanakibat mabuk, kriminalitas, hilangnya produktivitas, dll)

• Dalamsetahun, proses penegakan hukum atas pengguna NAPZA menghabiskan biaya$ 39.600 dan biaya bila yang bersangkutan tidak menjalani programterapi dan rehabilitasi adalah $ 43.300 (MDA, 2002). Biaya ini jelassangat tinggi bila dibandingkan dengan pengguna NAPZA yang menjalaniprogram yang hanya menghabiskan biaya rata-rata $ 2.941 (CSAT, 2002).

Faktadi atas jelas menunjukkan bahwa program terapi dan rehabilitasi jauhlebih efisien. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa pengguna yangberada dalam program untuk kurun waktu setidaknya 3 bulan mengalamiperubahan perilaku yang signifikan. Perubahan perilaku ini dapat lebihlanggeng sifatnya apabila mereka menjalani program lebih lama danmembina kontak dengan terapis serta teman sebaya yang positif setelahselesai menjalani program.

Pemerintah perlu secara serius membuatsuatu kebijakan yang lebih mendorong pengguna untuk mencari pertolonganterapi dan rehabilitasi. Adanya wacana menjalankan ketentuan wajiblapor dapat menjadi kontra produktif atas intervensi terapi danrehabilitasi. Lapor diri lebih berkonotasi pada penegakan hukum. Bilatujuannya adalah untuk membantu mengatasi gangguan penggunaan zatnya,maka sebaiknya yang perlu diberlakukan adalan ketentuan wajib menjalaniterapi. Alokasi anggaran untuk dapat mensubsidi pengguna dalammenjalani terapi dan rehabilitasi mutlak disediakan. Pemerintah tidakperlu membangun pusat-pusat terapi dan rehabilitasi baru. Optimalisasiatas pusat layanan yang ada sekarang ini perlu dilakukan. Selain itujuga perlu dilakukan dukungan bagi sektor swasta dan lembaganon-pemerintah (LSM) yang menyediakan layanan terapi dan rehabilitasi.Kerjasama dengan sektor swasta, khususnya dalam aspek corporate socialresponsibility (CSR) yang dapat membantu masalah pembiayaan program,menjadi sangat penting. Program-program perlu ditingkatkan mutunya dandiperluas modalitasnya. Evaluasi atas keberhasilan program perludilakukan secara ajeg sebagai akuntabilitas pada masyarakat Indonesiabahwa kebijakan ini terbukti jauh lebih efektif daripada pemenjaraan.


0 Tulis komentar Kalian disini...: