Bongkar Tirani

Grab this Headline Animator

Bongkar Tirani

Kalau "air mata" diserahkan kepada rakyat... Tapi... kalau "mata air" diambil oleh penguasa... Kapan "air mata" itu hilang dari mata rakyat? ataukah abadi selamanya karena kerakusan penguasa?

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us

Akumulasi kekecewaanmasyarakat dan hilangnya figur yang kredibel menyebabkan pergolakan konflik horizontal kian meluas.Pasca Reformasi di Indonesia banyak terjadi benturan -benturan kepentingan dalam masyarakat secara transparan tanpa lagi mengindahkan kaidah - kaidah umum perundang-undangan dan hukum yang mengatur sehingga banyak menimbulkan guncangan-guncangan sosial dimasyarakat.Kondisi riil yang terjadi ditengah - tengah masyarakat saat ini cenderung anarkis,ketika rakyat baru terbebas dari pembungkaman massal, beralih kepada masa kebebasan dalam menyerukan seluruh aspirasinya terkait kepentingan individual atau golongan. Anarkisme saat ini sering terjadi dan seolah – olah telah membudidaya dimasyarakat Indonesia, terbukti dengan adanya tindakan - tindakan kekerasan yang terjadi pada seluruh perseteruan diseluruh lapisan masyarakat, konflik horizontal seperti pengerusakkan tempat ibadah, pemblokingan aktivitas partai politik yang dianggap berbahaya, penyegelan tempat – tempat yang dianggap menjadi tempat penyebaran ajaran sesat. Sehingga seluruh perseteruan tidak lagi menemukan solusi secara damai.

“Sebenarnya pada masa krisis ini, rakyat mencari kepastian - kepastian apalagi ketika situasi hukum tidak berjalan mulus dan biasanya punya imbas keras terhadap keyakinan kepercayaan, yang kemudian rakyat mencari pemimpin - pemimpin panutan yang kira-kira bisa mengkompensasikan kelemahan-kelemahan hukum yang ada”. Hukum dan peraturan tidak lagi dihiraukan, tokoh - tokoh masyarakat setempat tidak lagi dapat berperan sebagai mediator untuk melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Apa yang sebenarnya terjadi dalam tradisi masyarakat Indonesia pasca reformasi, dimana yang diandalkan hanya kekuatan otot, dan apa yang sebenarnya juga terjadi terhadap peran serta para tokoh-tokoh masyarakat yang tidak lagi mendapat kepercayaan dimata masyarakat.
Krisis kepercayaan dalam masyarakat saat ini telah menjadikan masyarakat yang apatis terhadap sesama, bahkan terhadap para tokoh masyarakat itu sendiri. Permasalahan lebih lanjut yakni masyarakat yang kurang dalam segi pendidikan apalagi masalah perpolitikan, kebanyakan akan menilai pemimpin dari sisi kharismatik yang membuat itu akan menjadi suatu sosok ideal dan akhirnya menjadi patronase. Keadaan masyarakat yang terpatron ini dapat dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang berkepentingan dengan memanfaatkan kekuatan konspiratif. Ia menanggapi bahwa “di masa-masa krisis biasanya tokoh-tokoh kharismatik itu tumbuh meyakinkan bahwa dirinya sendiri sebagai alternatif terhadap hukum, jadi pemimpin yang fundamental ini memberikan semacam karang yang stabil ditengah ketidakpastian hidup masyarakat itu.” ungkapnya. Namun para tokoh dan pemimpin dalam masyarakat yang mengalami kegagalan dalam mewujudkan keinginan rakyat ini sangat berpengaruh bagi masyarakat yang akhirnya membuat masyarakat mencari pemimpin panutan, yang sekiranya dapat mengkompensasikan kelemahan hukum yang ada.
Pemimpin adil yang diharapkan menjadi alternatif itu ternyata memunculkan fenomena pemimpin kharismatik yang seolah – olah dapat menjawab permasalahan akan kekosongan hukum yang memberi kepastian.
Bagaimana dengan kekuatan dari klan tradisional, yang dulu menjadi sumber keteladanan bagi rakyat. Menurutnya basis – basis tradisional yang diisi oleh tokoh keagamaan, kiai, ulama mulai susut oleh karena krisis yang juga bisa dikonsepsikan dengan urusan ekonomi yang akhirnya peserta tradisional ini pudar akan keteladanan. Secara otomatis saat ini hanyalah bersisa pada pola - pola baru pemimpin karbitan tak lain memberikan interpretasi keagamaan yang terputus, tetapi memberikan jaminan atas kepastian. figur baru ini tidak harus produk pesantren atau produk dengan pemahaman keagamaan yang mendalam, yang akhirnya kharismanya terbatas dan tidak efektif mempengaruhi banyak massa. “orang yang terbatas secara spiritual dan intelektual ya daya pengaruhnya juga pasti terbatas”.
Dampak lain sebagai contoh yakni menipisnya toleransi antar umat beragama dibandingkan dahulu pada zaman Majapahit terkenal dengan sikap toleran yang kental antar umat Hindu dan Budha. Tentunya hal yang harus diperhatikan ialah faktor pada tataran masyarakatnya.
Yakni aspek perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat seperti perbedaan agama dapat di-netralisasi karena kesamaan aspek sosial seperti kesamaan suku, kelas sosial, atau latar belakang pendidikan. Semakin banyaknya unsur kesamaan tersebut dapat menjauhkan bahkan meredam potensi konflik yang ada. Persoalan ditingkat grass root, seperti dalam kasus kekerasan pada masyarakat, yang harus diperhatikan lebih dahulu ialah bagaimana aparat penegak hukum itu sendiri, apakah telah sesuai dengan perundang undangan, ketegasan dan konsistensi dalam melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang bersalah.
bahwa budaya kekerasan timbul karena terdapat ruang atau peluang penggunaan cara – cara anarkis tersebut. “Masyarakat juga meniru kekerasan yang dilakukan oleh negara selain karena ada ruang untuk melakukan hal tersebut, dan belakangan fenomena munculnya kekerasan dikarenakan struktur yang menindas ketika orang ditindas oleh struktur, maka orang bisa melawan apapun caranya termasuk dengan kekerasan.” Menggarisbawahi yakni terdapat dua hal, pertama karena mereka meniru negara yakni aparat yang melakukan kekerasan. Kedua karena masyarakat ditutup ruangnya untuk melakukan pembelaan terhadap negara “mau tidak mau masyarakat harus melakukan tindakan kekerasan tersebut untuk membela dirinya” jelasnya. Keadaan chaos dalam masyarakat yang berdampak tumbuh suburnya tindakan anarkis merupakan efek dari krisis negara tersebut akibat pada kekuatan konspiratif (pejabat, militer, pengusaha, politisi, dll) gagal dalam kedewasaan mereka berpolitik. Kekuatan tersebut mempunyai kekuatan resonansi sosiologis yang kuat sehingga menyebabkan guncangan pada masyarakat grass root.
Konflik horizontal dalam masyarakat seolah tak terhindarkan diperpuruk dengan situasi minus kepemimpinan yang seharusnya menjadi alternatif pada kosongnya hukum dalam memberi kepastian. Sistem dan kondisi masyarakat seharusnya diperbaiki secara berbarengan. Menurut Saya belum pernah dalam sejarah terjadi sebuah kekerasan yang dimulai oleh mereka yang tertindas. Bagaimana mungkin masyarakat yang selalu tertindas menjadi perintis, jika mereka sendiri yang menjadi hasil dari kekerasan tersebut.

0 Tulis komentar Kalian disini...: